Pages

Thursday, December 18, 2014

Billingualisme

Halo kawan-kawan semua, kali ini saya akan membahas mengenai fenomena billingualisme yang akhir-akhir ini cukup gencar terjadi di masyarakat modern yang ada di Indonesia. Sebagai intermezzo, mari kita membahas mengenai definisi dari bahasa yang menjadi langkah utama untuk mempelajari suatu hal. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) arti dari bahasa adalah 1 sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2 percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan).
Sedangkan dari pandangan Sternberg (2009) menyatakan bahwa bahasa adalah kombinasi kata-kata yang memiliki makna tertentu sebagai sarana berkomunikasi. Menurut Karl Buhler (1934), di dalam penggunaan bahasa itu terdapat 3 dorongan utama, yaitu Kundgabe, Auslosung, dan Darstellung.
1.      Kundgabe, yaitu dorongan pada seorang individu untuk mengekspresikan isi batinnya                          berupa pikiran, kemauan, harapan, dll
2.      Auslosung, yaitu dorongan untuk mengucapkan kata-kata yang dipelajari dari orang                             lain.
3.      Darstellung, yaitu ketika seseorang ingin mengungkapkan sesuatu yang menarik dan                            unik
Ketika sudah mengetahui dorongan seseorang untuk menggunakan bahasa, maka selanjutnya yang perlu kita ketahui yaitu fungsi dari bahasa, fungsi bahasa menurut Searle (1979) diantaranya adalah :
1.      Untuk mendeskripsikan sesuatu/objek
2.      Untuk meminta orang lain melakukan sesuatu
3.      Untuk mengekspresikan sikap dan perasaan
4.      Untuk membuat komitmen
5.      Untuk mencapai/meraih sesuatu secara langsung
Cukup jelas kan, bahwa bahasa adalah salah satu aspek penting yang dibutuhkan manusia untuk berinteraksi dengan orang lain.
Banyak sumber-sumber yang dapat membuat seseorang mengetahui sebuah bahasa/memperoleh bahasa. Menurut Chomsky (1960) penguasaan Bahasa adalah sesuatu yang bersifat bawaan  (Innate mechanism), dan semua manusia mempunyai LAD (Language Acquistition Device). Sedangkan ada pandangan lain yang mengatakan bahwa Bahasa dikuasai sambil melakukannya (learning by doing) dan pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah dapat berpengaruh.dalam pemerolehan bahasa.
Seseorang yang hidup di Indonesia setidaknya hanya dapat mengucapkan bahasa Indonesia saja, lalu bagaimana pendapat kalian mengenai fenomena orang Indonesia yang dapat berbicara bahasa inggris atau bahasa lain dengan fasih pula? Disebut fenomena apakah ini?. Yap, fenomena tersebut sering disebut bilingualism (Dwibahasa). Bagaimana pandangan psikologi mengenai kasus bilingualisme ini?
Bilingualisme  menurut Bloomfield (1933) yaitu keadaan dimana seseorang dapat menguasai dua bahasa seperti penutur aslinya. Lalu bagaimana para Bilingual (sebutan obyek yang menguasai dwibahasa) ini belajar bahasa kedua mereka?. Schneiders (1964) menyebutkan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.
Penjelasan diatas menjelaskan bahwa kemampuan seseorang dalam berbahasa diperoleh melalui interaksi individu tersebut dengan lingkungannya. Ada pandangan lain yang mengatakan bahwa penguasaan bahasa adalah sesuatu yang bersifat bawaan  (Innate mechanism), dan semua manusia mempunyai LAD (Language Acquistition Device) dengan kata lain bahasa adalah bakat alamiah manusia (Chomsky, 1960).
Menurut penulis, kemampuan memperoleh bahasa dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, dengan kata lain faktor alamiah dan faktor interaksi individu dengan lingkungannya (sosialisasi) juga berpengaruh besar. Faktor alamiah, lebih spesifiknya intelejensi berpengaruh pada tingkat kemaampuan seseorang dalam mempelajari bahasa. Lingkungan sosial akan lebih berpengaruh jika terdapat orang-orang yang lebih berpengalaman dalam penggunaan bahasa asing.
 Apakah bilingualisme diartikan sebagai penguasaan yang utuh kepada dua bahasa?,  Dalam artikelnya Becoming Bilingual, Letts (1999) menjabarkan empat jenis pemerolehan bahasa dalam bilingualisme :
1.      Pemerolehan Simultan
          Seperti disebutkan di atas, pemerolehan simultan terjadi jika penguasaan terhadap                                 kedua bahasa berlangsung pada waktu yang bersamaan.
2.      Pemerolehan Sekuensial
         Berbeda dengan pemerolehan simultan, pada pemerolehan sekuensial anak telah                                   menguasai L1 (bahasa ibu)  terlebih dahulu sebelum memperoleh L2 (bahasa asing).
3.      Dominansi dan Atrisi Bahasa
        Ketika seseorang menguasai L2, kemudian ia lebih dominan dalam menggunakan L2,                          dan L1 semakin jarang digunakan.
4.      Interference
         Interference terjadi jika suatu kata dalam L1 digunakan dalam penggunaan L2 atau                              sebaliknya. Dengan kata lain mencampur L1 dan L2 pada waktu yang bersamaan.

Pertanyaan selanjutnya adalah kapan sebaiknya individu belajar bahasa kedua atau bahasa asing? Apakah sejak dini? Atau semenjak individu tersebut mulai mengenyam pendidikan formal di sekolah?. Menurut literatur-literatur yang penulis baca, banyak diantaranya berpendapat bahwa sebaiknya seorang individu mulai diajarkan bahasa ke-2 atau bahasa asing sejak masa pembentukan (± 2 tahun) tujuannya agar anak-anak itu mengerti dulu, nanti saat mencapai usia tertentu, mereka akan mulai bicara. Pendapat lain mengatakan bahwa  alangkah lebih baik jika bahasa ibu dimantapkan terlebih dulu baru anak diajarkan bahasa lainnya.
Dampak negatif jika seorang individu mulai diajarkan bahasa ke-2 sebelum menguasai bahasa ibu adalah individu tersebut akan merasa kebingungan dalam mengolah bahasa atau menggunakan bahasa. Hal yang paling ditakutkan adalah ketika seorang individu yang telah diajarkan bahasa ke-2 sejak dini akan berdampak pada berkurangnya penggunaan (dominasi) bahasa ibu.
Meskipun ada efek negatif, pasti ada dampak positif yang akan diterima oleh seorang individu ketika ia menguasai dua bahasa. Contohnya adalah :
1.      Seseorang yang bilingual cenderung lebih fleksibel
2.      Mengenal banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda
3.      Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan bahasa ke-2 nya
4.      Terlihat lebih unggul jika dibandingkan dengan seseorang yang monolingual,  dsb.
Menurut pandangan penulis, lebih baik bahasa ke-2 diajarkan ketika seorang individu mulai mantap dengan bahasa ibunya. Sehingga individu tersebut tidak kebingungan dalam memilih bahasa yang tepat untuk berkomunikasi dengan lingkungannya. Penulis berpendapat sebaiknya anak mulai diajarkan bahasa ke-2 ketika menginjak bangku sekolah dasar (±7 tahun).




Referensi

Bloomfield, Leonard. (1995). Language. Terjemahan I. Sutikno. Bahasa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Hanifa, Ninip . (2011).  Pemilihan Kode Dalam Masyarakat Dwibahasa : Masyarakat Jawa di Daerah Jatibening Bekasi. Diakses di http://journal.ppsunj.org/jpbs/article/download/148/148
Hogg, Michael A & Vaughan, Graham M. 2011. Social Psychology. England: Pearson Education
Kartono, Kartini. (1982). Psikologi Anak. Bandung : ALUMNI
King, Laura A. (2007). The Science of Psychology : An Appreciate View. New York: McGraw-Hill.


Apa Itu Psikologi??

Apa Itu Psikologi?
            Pada artikel ini, penulis akan membahas mengenai sejarah berdirinya psikologi, aliran-aliran yang ada di dalam psikologi, dan kajian-kajian psikologi yang berkembang saat ini. Psikologi, istilah ini berasal dari Yunani yaitu “psyche” yang berarti jiwa dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Namun apakah benar psikologi mempelajari jiwa yang letaknya abstrak?
            Mussen & Rosenzwieg (1975, dalam Sobur, 2003) mengartikan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan proses-proses mental (George A. Miller, 1974). Mussen & Rosenzwieg menyatakan hal ini karena jiwa amat sulit untuk diamati karena abstrak, untuk itu cara yang dapat dilakukan adalah mengamati perilakunya.
            Pada awalnya psikologi adalah sebuah ilmu filsafat, tokoh pada saat itu yang mulai memikirkan mengenai jiwa adalah Plato. Saat itu, Plato mulai membedakan antara jiwa dan raga sedemikian rupa sehingga muncul konsep dualisme jiwa dan raga. Konsep Plato mengenai dualisme tersebut dituliskan di buku karya Ash-Shadr, Ash-Shadr (1993, dalam Sobur, 2003) menyebutkan bahwa jiwa memiliki dua predisposisi. Pertama, jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam materi. Kedua, pengetahuan rasional adalah pengetahuan terhadap realita-tealita yang tetap di alam yang lebih tinggi (archetypes). Pada intinya Plato melihat manusia dalam kesatuan badan-jiwa.
            Dualisme jiwa-badan yang dicetuskan oleh Plato, pada zaman renaisan (pencerahan) Eropa Barat dibahas kembali oleh seorang Rene Descartes (1596-1650). Pada saat itu Rene Descartes memberikan ungkapan “Cogito Ergo Sum” yang berarti (saya berpikir, karena itu saya ada). Descartes menjelaskan bahwa jiwa pada hakikatnya cenderung mengarah ke badan atau ragawi, tetapi jiwa yang memberi kesadaran dan arti pada ragawi kita, sehingga menunjukkan eksistensi “aku”. Berikut ini adalah tahapan metode pemikiran Descartes yang dituliskan Sobur (2003) dalam bukunya :
Reserved: Aku `ada` karena berpikir
Text Box: Benda Indrawi tidak ada Text Box: Gerak, jumlah, besaran. Reserved: Aku ragu karena berpikir
Reserved: Aku sedang ragu, ada
 

           

Tahapan Metode Descartes
Descartes yang notabene adalah seorang filsuf, matematikawan, dan ilmuwan jelas bahwa ia bukanlah seorang ahli psikologi. Tetapi, hingga saat ini dikenal sebagai tokoh Renaisans bagi ilmu pengetahuan psikologi, namun beliau bukanlah pendiri atau perintis dari ilmu psikologi itu sendiri. Lalu siapakah tokoh yang mendirikan psikologi sebagai salah satu ilmu pengetahuan?. Mungkin banyak dari kita yang telah mengetahui bahwa Bapak Psikologi adalah Wilhelm Wundt (1832-1920). Psikologi dikukuhkan sebagai ilmu pengetahuan atas jasa-jasa beliau yang mendirikan laboratorium psikologi pertama di dunia, yaitu di Leipzig, Jerman pada tahun 1879.
Dalam laboratoriumnya Wundt banyak meneliti mengenai persepsi, reproduksi, memori, asosiasi, dan fantasi (Sobur, 2003). Pada saat awal berdirinya psikologi ini masih banyak penelitian (eksperimen) mengenai gejala-gejala psikis yang berlangsung di dalam jiwa yang “sadar”, namun kejadian-kejadian yang “tak sadar” masih belum dikembangkan pada saat itu (Gerungan, 1987). Contoh dari eksperimennya yaitu ketika Wundt dan dua mahasiswanya mengukur jarak dan waktu menggunakan tombol telegraf, eksperimen ini adalah salah satu cara untuk mengukur perilaku manusia melalui pengukuran fisiologis (King, 2010).
Eksperimen yang dilakukan oleh Wundt ini berupaya untuk mengukur waktu yang dibutuhkan otak manusia untuk menerjemahkan informasi melalui tindakannya, dasar eksperimen ini adalah bahwa proses mental dapat dikaji secara kuantitatif (King, 2010).  Setelah psikologi resmi menjadi sebuah cabang ilmu pengetahuan yang konkrit, mulai bermunculan berbagai pandangan dan aliran pemikiran mengenai psikologi. Berikut ini adalah aliran-aliran yang ada di dalam ilmu psikologi modern :
1. Strukturalisme
Aliran strukturalisme yang dicetuskan oleh bapak psikologi Wilhelm Wundt, awalnya beliau melakukan eksperimen pertamanya di laboratorium di Leipzig untuk meneliti mengenai gejala-gejala psikis yang berlangsung di dalam jiwa yang “sadar”. Aliran ini berguna untuk menemukan unsur-unsur dasar, atau struktur proses-proses mental manusia (King, 2010). Strukturalisme menggunakan metode introspeksi (observasi diri dari pengalaman). Kesadaran dan pikiran adalah sama, kecuali dalam hal kesadaran melibatkan proses-proses mental, sedangkan pikiran melibatkan keseluruhan dari proses-proses ini (Schultz & Schultz, 2014).
2. Fungsionalisme
Aliran Fungsionalisme mengatakan bahwa proses mental manusia, proses inderawinya, dan juga pemikiran dalam melakukan sesuatu itu merupakan bagaiamana cara individu beradaptasi dengan lingkungannya (King, 2010). Dalam aliran ini juga membahas tentang seleksi alam yang dicetuskan darwin, yaitu suatu usaha untuk bertahan hidup agar tetap eksis, dan bentuk-bentuk kehidupan yang mampu bertahan adalah yang dapat beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan baik (Schultz & Schultz, 2014).
3.       Gestalt  
Aliran gestalt mengkritik terhadap aliran strukturalisme, aliran ini memandang bahwa persepsi manusia terjadi secara menyeluruh, sekaligus, terorganisir dan tidak parsial (Sobur, 2003). Psikologi Gestalt meyakini bahwa lebih banyak hal yang dapat kita persepsikan jika dibandingkan dengan hal yang dapat kita lihat. Dengan kata lain persepsi kita lebih maju jika dibandingkan dengan elemen sensoris yang kita peroleh dari organ indra manusia (Schultz & Schultz, 2014).
 4. Behaviorisme
Aliran behaviorisme mempelajari tentang perilaku yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman masa lalu sebagai bagian dari proses belajar atau latihan. Contoh aplikasi dari aliran behaviorisme adalah ketika kita memiliki suatu tujuan, maka kita akan mengubah perilaku kita untuk mencapat tujuan kita (Schultz & Schultz, 2014). Manusia dianggap sebagai mesin yang bisa diprediksi dan dapat diketahui respon perilakunya melalui stimulus yang diberikan berulang kali. Watson (dalam Sobur, 2003) mengatakan bahwa hampir semua perilaku merupakan hasil dari pengondisian, dan lingkungan membentuk perilaku kita. Aliran ini mempelajari tingkah laku manusia yang empiris atau dapat dilihat, diukur, dan diamati secara langsung.
5.    Psikoanalisa
Psikoanalisis terfokus pada ketidaksadaran (Unconsciousness) manusia. Freud mengatakan bahwa dalam membedakan pikiran menjadi sadar dan tidak sadar menjadi tiga bagian yang dianalogikan seperti gunung es yaitu Id, Ego, dan Superego (Schultz & Schultz, 2014). Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia untuk menyenangkan dirinya. Ego berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan keadaan atau realitas dunia luar. Yang terakhir  Superego bisa diartikan sebagai kontrol diri, atau menghendaki agar dorongan-dorongan tertentu yang positif dari Id saja yang direalisasikan (Sobur, 2003). Kemudian ada kritik mengenai pandangan Freud yang menyatakan bahwa kepribadian ditentukan oleh pengalaman masa kecil. Carl Jung menyatakan bahwa kepribadian dibentuk oleh pengalaman sepanjang kita menjalani kehidupan ini.
6. Humanistik
Aliran ini melawan anggapan bahwa manusia sebagai organisme dan mesin. Para psikolog humanistik juga berpendapat manusia adalah makhluk yang sempurna dan memiliki keunggulan dan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya (Sobur, 2003). Para psikolog humanistik juga yakin bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks dan tidak dapat diobjekkan, dikuantifikasi, ataupun di reduksi menjadi unit-unit S-R (stimulus-respon) (Schultz & Schultz, 2014). Abraham Maslow juga menganggap manusia sebagai makhluk yang membutuhkan sarana untuk mengaktualisasikan dirinya, hal ini terdapat pada teori hirarki kebutuhan manusia miliknya.
7. Psikologi kognitif
Menganalogikan sistem cara kerja otak manusia sebagai komputer dimana ada proses input sebagai masukan dari stimulus yang diterima, lalu di proses di dalam otak dan jika ingin mengingat kembali kita dapat melakukan proses recall sebagai output (Schultz & Schultz, 2014). Aliran ini mempercayai bahwa individu secara aktif dan kreatif menyusun stimulus atau informasi yang diterima dari lingkungan sekitarnya
8. Transpersonal
Manusia memiliki pengalaman dan kemampuan spiritual, gaib yang melampaui batas nalar manusia (Cunningham, 2007). Psikologi transpersonal lebih menggali kemampuan manusia dalam dunia spiritual, pengalaman puncak, dan mistisme yang dialami manusia.

            Dari penjelasan sebelumnya cukup jelas bahwa psikologi sudah berkembang semakin pesat dan banyak penelitian dan pemikiran-pemikiran mengenai psikologi. Tetapi, masih banyak hal-hal yang belum dibahas di psikologi. Maka dari itu, kita memiliki tanggung jawab moral untuk meneruskan penelitian-penelitian dan perkembangan selanjutnya dari ilmu psikologi. Sehingga ilmu psikologi dapat senantiasa membantu permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh individu ataupun masyarakat.


  • Referensi

  • ·    Brennan. J. F (2006). Sejarah dan Sistem Psikologi Edisi keenam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
  • ·  King, Laura A. (2010). The Science of Psychology : An Appreciate View (Terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika
  • ·   Schultz, Duane P. & Sydeney Ellen Schultz. 2011 A History of Modern  psychology tenth edition. USA : Thomson Wadsworth
  • ·     Schultz, D.P., & Schultz, S. E. (2014). Sejarah Psikologi Modern, Bandung: Nusa Media.
  • ·     Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum : Dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia


Attention Deficit Hyperactive Disorders (ADHD)

        Halo kawan-kawan semuanya, dalam artikel ini kita akan membahas mengenai Attention (perhatian). Dalam pandangan masyarakat umum Atensi diartikan sebagai tingkat perhatian atau konsentrasi kita terhadap suatu objek.  Ada juga yang mengatakan bahwa atensi adalah minat kitaterhadap sebuah objek. Sebenarnya apa sih arti dari Atensi itu??...
 Hill (2001,p.113). pada salah satu jurnalnya mengatakan bahwa, atensi adalah usaha mental untuk memfokuskan pikiran dan berkonsentrasi kepada stimulus eksternal yang kita lihat Mengapa kita harus mengetahui definisinya terlebih dahulu?, karena kita akan mengetahui definisi dari Atensi yang disepakati oleh dunia. Apakah kalian mengetahui bentuk dari sikap atensi? Contoh sikap atensi adalah ketika kita dapat berkonsentrasi untuk mendengarkan perkataan dosen, fokus pada materi yang diajarkan dosen, dan hasil akhirnya kita dapat menjelaskan kembali materi yang disampaikan oleh dosen.
          Menurut pandangan  saya pada awalnya, semua manusia akan dapat secara normal melakukan proses atensi dalam kesehariannya. Tetapi, ternyata ada sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa ada minoritas di dunia ini yang mengidap gangguan (Disorder) dalam mengelola fokus dan konsentrasinya. Tahukah kalian apa gangguan itu?, yap gangguan itu disebut ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder).
     Menurut Diana Rusmawati (2011, h.6) pada jurnal penelitiannya ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) adalah  gangguan neurologis yang menyebabkan masalah pemusatan perhatian, kontrol diri, dan hiperaktifitas/impulsivitas pada anak, sehingga anak sulit untuk menghambat, mengawali, atau mempertahankan respon pada satu situasi. Dengan kata lain, ADHD adalah gangguan  untuk berkonsentrasi dan fokus yang cukup lama terhadap sesuatu hal dan cenderung melakukan banyak aktivitas fisik yang mengalihkan perhatiannya. Wenar (1994) menyatakan bahwa terdapat tiga tanda utama anak yang mengidap gangguan ADHD, yaitu :
1. Tidak ada perhatian
 Ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian pada beberapa hal seperti membaca, menyimak pelajaran, dan fokus dalam waktu yang cukup lama. Seseorang yang menderita ADHD mudah teralih perhatiannya.
2. Hiperaktif
 Mengacu ketidakmampuan mengendalikan diri, seperti mengambil keputusan atau kesimpulan tanpa memikirkan akibat-akibat yang mungkin timbul, dan sering menyebabkan pelakunya terkena hukuman atau mengalami kecelakaan (Ayu Tri Anjani, 2013 Vol 1 Edisi 2, h. 125-135)
3. Impulsif
Melakukan sebuah tindakan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan dari perilakunya.

         Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi ADHD, bisa diwariskan (genetis), sebuah laporan yang ditulis pada 1987 dalam Kongres Amerika Serikat yang disiapkan oleh Inter-Agency Committee of Learning Disabilities menerangkan ADHD disebabkan pula oleh kelainan di neurotransmitter, lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi terbentuknya gangguan tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan ADHD hingga saat ini masih diteliti oleh ilmuwan-ilmuwan. Ada beberapa jenis ADHD, yaitu tipe anak yang tidak bisa memusatkan perhatian, tipe anak yang hiperaktif dan impulsif, dan tipe gabungan keduanya.
         Untuk meminimalisir efek ADHD, struktur, rutinitas, rencana intervensi (perlakuan) sekolah, dan teknik pengasuhan yang dimodifikasi seringkali cukup efektif jika dibandingkan dengan penyembuhan menggunakan obat-obatan. Beberapa anak yang tidak agresif dan yang datang dari lingkungan rumah stabil dan lingkungan rumah yang mendukung mungkin lebih mudah untuk disembuhkan.
         Ada terapi yang cukup efektif untuk memberikan stimulus positif pada anak penderita ADHD, contohnya Play therapy yang merupakan salah satu bentuk intervensi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan anak. Anak-anak dapat mengekspresikan diri mereka yang sesungguhnya melalui permainan, sehingga terapi yang menggunakan permainan dapat membantu anak dalam berkomunikasi. (Luisa Alexandra Munster, 2012 h.12)
Sebuah program bernama Collaborative Life Skills (CLS) dikembangakan sebagai intervensi pada sistem edukasi. CLS merupakan adaptasi dari intervensi klinis untuk anak dengan tipe ADHD-I dan intervensi dilakukan terus menerus selama 12 minggu dengan cara mengevaluasi hasil raport harian.
         Metode lain untuk meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dengan anak ADHD yaitu dengan menerapkan positive parenting atau pola asuh yang lebih positif. Anak dengan ADHD disebutkan memiliki kecenderungan menjadi kurang patuh pada perintah orang tua mereka dan lebih banyak menampilkan perilaku negatif dibandingkan anak-anak seusianya, sehingga hal ini juga mempengaruhi emosi dan interaksi orang tua dengan anak.
         Jika gangguan ADHD tidak diberikan perlakuan (intervensi) untuk menghilangkan atau meminimalisir  Masalah lain yang muncul atau menetap di masa remaja dan dewasa adalah menurunnya prestasi akademik, rendah penghargaan terhadap dirinya, gelisah, dan depresi. Kesimpulannya adalah, ketika kita menyadari bahwa kita memiliki gangguan terhadap fungsi atensi kita, sebaiknya segera menyelesaikan dan melakukan terapi terhadap gangguan yang kita alami tersebut sedini mungkin, agar tidak memperburuk kondisi pengidap ADHD saat dewasa. 


Referensi 


King, Laura A. (2007). The Science of Psychology : An Appreciate View. New York: McGraw-Hill.

Anonim. (2010). Definisi dan Pendekatan Teori ADHD. Diakses dihttp://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197511182005012-RIKSMA_NURAHMI_RINALTI_A/Analisa_Definisi_dan_Teori_ADHDx.pdf 

Rusmawati, Diana. (2011).  Pengaruh Terapi Musik Dan Gerak Terhadap Penurunan Kesulitan Perilaku Siswa Sekolah Dasar Dengan Gangguan ADHD. Diakses dihttp://eprints.undip.ac.id/40402/1/Pengaruh_Terapi_Musik.pdf

Anjanie, Ayu Tri. (2013) Studi Kasus Tentang Konsentrasi Belajar Pada Anak ADHD ( Attention Deficit  Hyperactivity Disorder) Di SDIT At-Taqwa Surabaya Dan SDN V Babatan Surabaya. Diakses di http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-unesa/article/view/2778/baca-artikel

Tesser, Abraham, Stapel, Diederik A., Wood, Joanne V. (2002) Self and motivation: Emerging psychological perspectives. Washington, DC, US: American Psychological Association